Neptunus memang bukan planet biasa. Dengan mengecualikan Pluto, yang semenjak 2006 telah ditendang dari jajaran keplanetan dan digolongkan ulang sebagai planet-kerdil, Neptunus menjadi satu dari dua planet dalam tata surya kita yang baru ditemukan manusia setelah astronomi mengenal instrumen bernama teleskop. Satunya lagi adalah Uranus. Dan berbeda dengan penemuan Uranus yang lebih sebuah kebetulan dalam pentas sejarah, kisah penemuan Neptunus didului narasi kompetisi berbalut harga diri
Hampir 2 abad silam, tepatnya pada 1821, astronom Alexis Bouvard (Perancis) menerbitkan tabel astronomis yang mencantumkan prediksi posisi Uranus dari waktu ke waktu berdasarkan perhitungan terakurat masa itu. Namun pengamatan demi pengamatan selanjutnya secara mengejutkan menunjukkan Uranus nampak sedikit bergeser dibanding seharusnya. Tingkah aneh ini memaksa Bouvard memikirkan satu kemungkinan yang nampaknya mustahil pada saat itu: ada planet lain tak dikenal yang mengganggu Uranus.
Karena gerak Uranus menyimpang sedikit, maka planet tak dikenal itu haruslah sama atau lebih besar dari Uranus. Ide ini membakar semangat John Couch Adams, pemuda belia dari Inggris Raya, untuk mulai bekerja guna menyeret planet tak dikenal itu keluar dari tempat persembunyiannya dengan bersenjatakan hukum gravitasi Newton, semenjak 1841. Upayanya pun segera berbuah sejumlah perkiraan posisi planet itu. Sontak ia mengirimkan permohonan untuk menyigi langit dimana planet itu diperhitungkan berada pada James Challis, direktur Observatorium Cambridge. Namun permohonannya diabaikan.
Empat tahun pasca inisiasi Adams yang akhirnya berbenturan dengan tembok Inggris, seorang Urbain Le Verrier di Perancis mulai tertarik dengan problem serupa. Segera perhitungan digelar, tanpa menyadari bahwa upaya sejenis telah dilakukan Adams bertahun-tahun sebelumnya. Namun berbeda dengan Adams yang sendirian, Le Verrier mendapat dukungan kuat Francois Arago, direktur Observatorius Paris. Sehingga hasil perhitungannya bisa langsung diterapkan untuk menyigi kawasan langit terkait.
Begitu menyadari peta langit milik Paris tidaklah lengkap khususnya bagi kawasan yang seharusnya disisir menurut perhitungannya, Le Verrier segera memublikasikan perhitungannya ke Inggris dan lalu Jerman dengan harapan observatorium-observatorium setempat bisa turut mencari planet itu. Publikasi Le Verrier tiba di Inggris pada Juni 1846 dan sontak menggemparkan astronom papan atasnya, khususnya Sir George Airy sebagai astronom kerajaan, karena mirip karya Adams yang ironisnya telah diabaikan. Atas desakan Airy, Challis pun mulai mencari. Dalam observasi 8 dan 12 Agustus 1846 malam matanya sebenarnya telah bersirobok dengan bintik cahaya redup, yang adalah planet tak dikenal itu. Namun karena peta bintangnya belum di-update, Challis gagal mengenalinya sebagai planet dan menganggapnya sebagai bintang biasa saja.
Sebaliknya keberuntungan menghinggapi Observatorium Berlin. Tatkala surat Le Verrier tiba pada 23 September 1846, Johann Galle menyambutnya dengan antusias bersama Heinrich d’Arrest, asistennya. Dengan peta bintang yang lebih baik ketimbang Cambridge maka hanya dalam beberapa jam kemudian Galle dan d’Arrest berhasil mendeteksi bintik cahaya redup yang tak terdaftar dalam peta mereka.
Analisis segera memperlihatkan bahwa bintik redup ini adalah planet tak dikenal itu. Itulah yang kini kita kenal sebagai Neptunus. Penemuannya tak hanya menggemparkan dunia ilmu pengetahuan, namun juga berefek pada hubungan Perancis-Inggris. ‘Perang’ klaim antar negara pun meletup, memperebutkan titel siapakah yang pertama kali menyadari adanya Neptunus di atas kertas sebelum Observatorium Berlin menjumpainya. Selama lebih dari seabad ber-’perang’ klaim maka terjadilan ‘gencatan senjata’, dengan sebuah konsensus bahwa baik Adams maupun Le Verrier berkontribusi dalam penemuan Neptunus.
Sumber: