Selama ini pemahaman kita akan asal muasal alam semesta telah didasarkan pada konsep bahwa alam semesta lahir melalui sebuah proses ‘dentuman besar’, pada suatu ketika di masa lampau. Tetapi apakah benar demikian adanya? Sains selalu didasarkan pada justifikasi yang didasarkan fakta pengamatan. Akan tetapi, untuk mendapatkan justifikasi itu, maka sains selalu terbuka akan interpretasi yang bisa berbeda sama sekali. Model konvensional kosmologi untuk alam semesta mengembang.
Sebagaimana yang telah dipahami saat ini, bagaimana astronomi menjelaskan tentang alam semesta diperoleh dari cahaya yang dipancarkan/diserap dari atom-atom dari benda-benda langit, yang ditampilkan dalam warna, atau frekuensi, secara populer disebut sebagai pergeseran merah.
Apabila ada materi yang bergerak menjauh, maka dari Prinsip Doppler, warnanya akan cenderung menjadi lebih merah, atau frekuensi yang lebih rendah, dari spektrum elektromagnetik. Prinsip dasar ini yang dipergunakan oleh para perintis teori ‘dentuman besar’, seperti Georges Lemaître yang merumuskan matematikanya, sementara Edwin Hubble mengamati bahwa memang galaksi-galaksi mengalami pergeseran merah, semakin jauh galaksinya, semakin mengalami pemerahan spektrumnya. Dari hal tersebut maka dideduksikan bahwa alam semesta mengalami pengembangan, sebagaimana yang telah kita terima saat ini.
Bagaimana jika, alih-alih alam semesta mengembang – sebagaimana yang telah kita terima saat ini tidak terjadi, tetapi massa semua yang ada di alam semesta mengalami peningkatan? Interpretasi seperti itu dapat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik pada permasalahan yang dihadapi oleh Kosmologi saat ini. Walaupun masih perlu dukungan bukit yang dapat diamati dari teori tersebut, tetapi teori yang disampaikan oleh Christof Wetterich, ahli fisika teoritis dari Universitas Heidelberg tampaknya cukup menarik perhatian karena teori fisikanya cukup sahih.
Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa cahaya itu adalah hasil interaksi atom-atom penyusun materi, hal ini dipergunakan oleh Wetterich untuk menyusun teorinya. Karakteristik cahaya yang dipancarkan atom juga dipengaruhi massa, serta juga denan elektron-elektron dalam atom tersebut. Bayangkan apabila atom mengalami peningkatan massa, maka foton yang dipancarkan menjadi lebih berenergi, dan karena energi berkorespondensi dengan frekuensi, maka semakin besar massa, semakin mengalami pergeseran ke biru dari spektrum yang teramati, dibandingkan dari keadaan yang sebelumnya telah diketahui, yaitu sebelum massa meningkat, demikian juga sebaliknya.
Kemudian, karena laju cahaya adalah terbatas, maka kita melihat galaksi-galaksi jauh sebagaimana kita melihat pada suat kala di masa lampau, kala cahaya mulai dipancarkan dari sumbernya. Apabila massa kala itu rendah, dan kemudian mengalami peningkatan, maka warna galaksi tua akan mengalami pergeseran merah dibanding frekuensi-nya saat ini, dan jumlah pergeseran merahnya akan berbanding terhadap jaraknya ke Bumi. Dengan demikian, pergeseran merah galaksi akan menampilkan fenomena seolah-olah mereka mengalami pergeseran menjauh (padahal belum tentu demikian).
Pekerjaan yang dilakukan oleh Wetterich adalah murni konsep matematika guna menginterpretasi pergeseran merah, akan tetapi makna fisis-nya akan sama sekali berbeda dibanding yang kita pahami dari model ‘dentuman besar’. Bayangkan apabila ternyata alih-alih alam semeta berawal dari ‘dentuman besar’, hal itu tidak terjadi sama sekali, akan tetapi tidak ada awal alam semesta, bahkan alam semesta cenderung untuk menjadi statis, bahkan mengalami keruntuhan.
Tetapi, bagaimana kita dapat menguji model ini? Bagaimana kita dapat mengukur bahwa massa itu mengembang? Satu kilogram adalah massa yang sudah disepakati, diukur dan ditera berdasarkan satuan standar yang telah ditentukan, dimanapun di seluruh alam semesta itu akan berlaku tetap. Bagaimana kita mengatakan satu kilogram mengalami peningkatan? Walaupun secara matematis itu boleh-boleh saja, akan tetapi tidak akan mudah untuk diuji.
Kendati demikian, teori yang disampaikan Wetterich, tidaklah serta merta ditolak, karena teori-nya cukup sahih, dan demikian bisa menjadi pijakan apabila ada model-model alam semesta lain yang hendak diajukan, bahkan lebih lanjut lagi, membuka wawasan, dan mengantar kita mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ada, yang kita belum pahami, dan keluar dari zona nyaman kemapanan pengetahuan kita, yang masih menyisakan banyak pertanyaan.
Sumber:
Nature ; arXiv