Selasa, 16 April 2013

Perjuangan Pak Thé mengarungi masa sulit Observatorium Bosscha


Suatu siang di Observatorium Bosscha, pada tahun 1959. Pejabat Sementara Direktur Observatorium Bosscha, Prof. Dr. Ong Ping Hok, memanggil beberapa pegawainya dan menunjuk seorang astronom muda berusia 32 tahun, seraya berkata ialah yang akan memelihara Observatorium mulai saat itu. Astronom tersebut, Pik Sin Thé, baru saja pulang dari Amerika Serikat setelah dipromosikan menjadi Doktor Astronomi. Ia menerima tanggung jawab barunya untuk tidak hanya memimpin Observatorium Bosscha, tetapi juga memastikan kesinambungan penelitian astronomi di Indonesia. 


Ketika diwawancara oleh langitselatan 53 tahun kemudian, Pak Thé, demikian kami memanggil beliau, masih mengingat hari itu: “Demikianlah tanpa pengusulan maupun pemilihan saya menjadi Direktur Observatorium Bosscha. Waktu itu saya adalah seseorang berusia 32 tahun, tanpa pengalaman, di sebuah masa yang sulit ketika sistem keuangan mengalami inflasi sebesar 500% per tahun.”
Pak Thé memimpin Observatorium Bosscha antara tahun 1959 hingga 1968. Antara tahun 1966 hingga 1968 beliau juga sekaligus menjabat Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB). Periode ini dapat dikatakan sebagai salah satu periode tersulit dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Kondisi ekonomi nasional yang memburuk memaksa pemerintah untuk memotong nilai uang dari 1000 Rupiah menjadi hanya 1 Rupiah. Kelaparan dan kemiskinan merajalela. Observatorium Bosscha tidak terlepas dari keadaan ini. Walaupun demikian, di tengah-tengah kesulitan ekonomi dan ketidakpastian politik ini Pak Thé justru berhasil membangun sebuah teleskop modern di Bosscha untuk tetap mempertahakan keberadaan Indonesia dalam penelitian astronomi.
Kiprah Pak Thé tidak banyak diketahui bahkan di kalangan astronom Indonesia. Nama Pak Thé diketahui hanya sebatas bagian dari daftar mantan Direktur Observatorium Bosscha. Mengenai siapa sebenarnya Pak Thé, tidak banyak yang mengetahui selain generasi tertua astronom-astronom Indonesia. Nama Pik Sin Thé menjadi legenda di kalangan astronom di masa kiwari. Dalam pandangan langitselatan, usaha dan sumbangan Pak Thé dalam mempertahankan keberadaan astronomi Indonesia di tengah masa-masa sulit tahun 1960an haruslah menjadi pengetahuan khalayak. Keberadaan astronomi Indonesia pada saat ini mungkin tidak akan sama tanpa sumbangan Pak Thé. Keingingan untuk mengenal Pak Thé lebih lanjut juga didorong oleh keinginan beberapa alumni Astronomi ITB yang menjadi bagian dari komunitas langitselatan, untuk mengetahui sejarah mereka sendiri.
Agak sulit pada awalnya bagi Tim langitselatan untuk melacak keberadaan Pak Thé. Pada tahun 1968 beliau memutuskan untuk pindah ke Negeri Belanda dan mengajar di Institut Astronomi Universitas Amsterdam, dan selanjutnya diangkat menjadi guru besar astronomi di institusi tersebut. Melalui kenalan-kenalan lama Pak Thé dan juga mantan murid-muridnya di Belanda, langitselatan berhasil menghubungi beliau. Tulisan ini adalah hasil wawancara langitselatan dengan Pak Thé, yang sepenuhnya dilangsungkan dalam Bahasa Belanda.
Pak Thé berasal dari Yogyakarta. Beliau dilahirkan pada bulan November 1927 di kota tersebut. Beliau pada awalnya tinggal di Jalan Gondomanan dan kemudian pindah ke Jalan Numbak Anjar, yang pada jaman Belanda bernama Kerkhoflaan (Jalan Kuburan). “Rumah kami memang persis di sebelah kuburan orang Belanda,” kata Pak Thé. “Orang tua saya keturunan Tionghoa, dan pada awalnya mereka berdagang rempah-rempah. Kemudian ayah saya mendirikan pabrik gula, namun pabrik tersebut bangkrut pada tahun-tahun krisis 1930an. Selanjutnya mereka berdagang tembakau dan juga batik.”
Pak Thé menempuh sekolah dasar di Hollandsch-Chineesche School met den Bijbel, sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda khusus untuk anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai pengantar. Pendidikan selanjutnya ditempuh di HBS (Hogere Burger School, pendidikan setaraf SMP dan SMA, dengan Bahasa Belanda sebagai pengantar). Walaupun demikian, dengan teman-temannya Pak Thé berbicara dalam Bahasa Jawa, sementara dengan orang tuanya menggunakan Bahasa Melayu.
Setamat HBS pada tahun 1949, beliau pergi ke ITB (pada masa itu ITB masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia yang bermarkas di Jakarta) pada awalnya untuk belajar Teknik Elektro. “Saya ingin menjadi pedagang alat-alat elektronik,” jawab Pak Thé ketika ditanya alasan memilih Teknik Elektro. Namun rupanya minat Pak Thé berubah setelah memperoleh ijasah propedeuse (ijasah setelah menyelesaikan kuliah-kuliah tingkat pertama, sepadan dengan Tahap Persiapan Bersama [TPB] di ITB). “Saya lantas berpindah ke FIPIA [Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam] dan memilih Astronomi sebagai bidang studi utama dan Fisika dan Matematika sebagai bidang studi pendukung.” Astronomi menarik bagi Pak Thé karena watak internasional dari studi astronomi memungkinkan beliau untuk melangsungkan penelitian di luar negeri, “di Indonesia ini tidak mungkin karena tingginya biaya yang dibutuhkan,” lanjut beliau. “Orang tua saya menganggap baik keputusan saya,” jawab beliau ketika kami bertanya mengenai pendapat orang tua beliau mengenai keputusan untuk berpindah ke jurusan Astronomi, yang dianggap banyak orang sebagai jurusan yang tidak menghasilkan banyak uang bagi lulusannya.
Pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, masih banyak orang Belanda yang mengajar di universitas-universitas Indonesia. Pun juga halnya dengan ITB. Ketika Pak Thé menjadi mahasiswa ITB, hanya ada dua dosen astronomi yaitu suami-istri Prof. Dr. Bruno van Albada dan Dr. Elsa van Albada-van Dien. Pada tahun 1951, Observatorium Bosscha resmi berpindahtangan dari institusi swasta, Perkumpulan Pengamat Bintang Hindia-Belanda (NISV, Nederlands-Indisch Sterrenkundige Vereeniging), ke ITB. Dekan FIPIA pada masa itu, Prof. Leeman, sudah menyadari semenjak 1948 akan pentingnya pendidikan tinggi astronomi, membuka Jurusan Astronomi di ITB dan mengangkat van Albada sebagai guru besar. Bulan Oktober 1951, ketika van Albada dikukuhkan sebagai guru besar dan menyampaikan orasi pengukuhannya mengenai alam semesta dini, dianggap sebagai awal permulaan pendidikan tinggi astronomi di Indonesia. Pak Thé adalah salah satu dari mahasiswa astronomi angkatan pertama.
“Saya membiayai kuliah dengan menjadi guru paruh-waktu di berbagai sekolah, dan juga memberikan kursus privat kepada murid-murid SMA,” ujar Pak Thé. “Sistem perkuliahan pada masa itu masih kental bersistem Belanda. Kemandirian yang tinggi sangat diharapkan dari mahasiswa, di mana dosen menerangkan dan mahasiswa mencatat apa-apa yang dirasa penting. Ujian diberikan tertulis namun dapat pula diberikan ujian lisan.”
Teman-teman kuliah Pak Thé adalah orang-orang yang kemudian tetap bekerja di bidang astronomi. “Rekan-rekan saya semasa mahasiswa adalah Santoso Nitisastro, Kusumanto Purbosiswojo, Bambang Hidajat [sic], dan Jorga Ibrahim. Santoso kemudian menjadi Direktur Planetarium Jakarta. Kusumanto kemudian bekerja diLAPAN [Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional], sebuah proyek antariksa yang dibiayai Presiden Soekarno. Bambang kemudian menjadi Direktur Observatorium Bosscha dan juga guru besar di FIPIA. Jorga menjadi dosen di FIPIA.”
Sebagaimana mahasiswa kini, mahasiswa pada masa itu juga harus mengerjakan tugas akhir sebelum dapat memperoleh gelar doktorandus. “Topik tugas akhir saya adalah tentang identifikasi garis-garis spektrum, di bawah bimbingan Dr. Elsa van Albada-van Dien.” Pak Thé lulus dari ITB pada tahun 1958 persis ketika keluarga van Albada harus kembali ke Negeri Belanda.
Pada tahun 1958 pemerintah Indonesia memboikot Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Indonesia, karena kampanye Presiden Soekarno untuk mengambil alih Irian Barat dari Belanda. Seluruh orang Belanda di Indonesia harus kembali ke Negeri Belanda. Pada bulan Juli 1958 Prof. van Albada dan Dr. Elsa van Albada-van Dien pergi dari Indonesia, kepemimpinan Observatorium Bosscha dijabat sementara oleh Prof. Dr. Ong Ping Hok dari Jurusan Fisika. Pada tahun itu pula, dengan bantuan beasiswa AID yang diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, Pak Thé berangkat ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan Doktor di Case Institute of Technology (sekarang Case Western Reserve University). Di bawah bimbingan astronom Victor M. Blanco, Pak Thé memanfaatkan plat-plat fotografi yang telah diambil Observatorium Warner dan Swasey, yang juga berafiliasi dengan Case, sebagai bahan penelitian beliau. Hasilnya, dalam waktu satu tahun beliau telah menyelesaikan penelitiannya dan berhak menyandang gelar Doktor. “Saya bekerja keras dan tidak membuang-buang waktu. 

Saya juga sudah siap menghadapi apa-apa yang akan dituntut dari seorang mahasiswa PhD,” demikian jawab Pak Thé ketika ditanya apa resepnya menyelesaikan penelitian PhD hanya dalam waktu satu tahun. Pak Thé adalah orang Indonesia pertama yang bergelar Doktor astronomi. “Karena saya adalah orang pertama dari Indonesia yang dipromosikan menjadi Doktor astronomi, saya merasakan tanggung jawab yang begitu besar untuk mempertahankan dan menyuburkan astronomi di Indonesia,” ujar beliau. “Apabila saya melihat situasi di Observatorium Bosscha sekarang, boleh dikatakan saya telah berhasil,” lanjutnya.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, pada tahun 1959, Prof. Dr. Ong Ping Hok langsung mengangkat Pak Thé menjadi Direktur Observatorium Bosscha. Tanggung jawab pertama beliau sebagai Direktur adalah memimpin pemasangan komponen optik teleskop Schmidt Bima Sakti. Teleskop yang disumbangkan oleh UNESCO ini datang pada tahun 1958 dan telah dipasang oleh Prof. van Albada. Komponen optik teleskop itu sendiri disumbangkan oleh Observatorium Yerkes di Chicago, namun mereka menolak mengirim cermin tersebut setelah menyadari bahwa perginya keluarga van Albada dari Observatorium Bosscha menimbulkan ketiadaan orang yang mampu menangani komponen yang berharga tersebut. 

Lulusnya Pak Thé dari universitas Amerika Serikat, dan terlebih lagi dalam waktu yang sangat singkat, mengembalikan kepercayaan Observatorium Yerkes akan kemampuan Observatorium Bosscha dalam menangani elemen optik tersebut. Dengan bantuan Victor Blanco dan teknisi Observatorium, Sutia, dalam waktu beberapa bulan Pak Thé menyelesaikan pemasangan dan kalibrasi cermin Teleskop Schmidt. “Inilah sumbangan terbesar saya sewaktu menjabat Direktur,” kenang Pak Thé.
Teleskop Schmidt adalah teleskop dengan medan pandang luas yang memungkinkan astronom memotret porsi langit yang cukup luas (medan pandang Teleskop Schmidt kira-kira 5° × 5°. Sebagai perbandingan, diameter semu bulan kira-kira 0.5°). Teleskop ini cocok sekali untuk melakukan survey dan cacah bintang, dalam rangka meneliti struktur Galaksi Bima Sakti. Lembang adalah lokasi yang pantas untuk sebuah teleskop survey semacam ini karena pada musim kemarau, sekitar tengah malam, pusat Galaksi Bima Sakti berada pada arah di sekitar zenith. Sudah banyak plat-plat fotografi diambil oleh teleskop ini semenjak pemasangannya dan hasil-hasil penelitiannya telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah luar negeri. 

Akan tetapi teleskop ini kini tidak aktif karena teknologi teleskop ini masih menggunakan plat fotografi yang sudah tidak lagi diproduksi, dan stok yang tersedia di Observatorium sudah terlalu tua. Usaha untuk meremajakan teleskop ini dengan memasang detektor digital seperti biasa terbentur pada persoalan pendanaan. Saya menceritakan hal ini kepada Pak Thé dan beliau berkomentar, “dus dit telescoop is nu nganggur?” (jadi teleskop ini sekarang nganggur?) Saya mengangguk mengiyakan, sambil sedikit nyengir karena beliau menggunakan kata nganggur untuk menggambarkan ketidakaktifan Teleskop Schmidt, dan beliau hanya berkomentar, “jammer…” (sayang ya…)
Selain meneliti, Pak Thé juga harus mengajar. “Ketika Prof. van Albada pulang ke Belanda dan saya berangkat ke Amerika Serikat, di Lembang masih tinggal Santoso, Kusumanto, Bambang, Jorga, Winardi Sutantyo, danIratius Radiman.” Pak Thé membimbing mereka menuju penyelesaian studi mereka dan juga berusaha mencari jalan untuk dapat mengirim mereka ke luar negeri dan mengambil gelar Doktor. Belajar di bawah Pak Thé membutuhkan kemandirian yang tinggi. “Untuk setiap satu mata kuliah, saya memberikan sebuah buku untuk mereka pelajari. Selanjutnya mereka saya datangi untuk diuji.”
Pak Thé juga harus memimpin Observatorium melalui masa-masa tersulitnya di tahun 1960an. “Di tahun-tahun krisis keuangan tentunya anggaran Observatorium tidaklah cukup. Pada waktu itu saya harus merawat 10 bangunan milik Observatorium, namun untuk hal ini pun uang tidak ada.” Di bawah kepemimpinan Pak Thé bekerja pula 30 orang pegawai, mulai dari asisten mahasiswa hingga pegawai rendah. Sumber dana lain pun harus dicari untuk menjalankan roda operasional. “Saya meminta kepada teman-teman ITB saya yang lebih beruntung agar menyumbangkan materi untuk Observatorium. 

Dari mereka saya memperoleh cat coklat untuk bangunan dan cat perak untuk kubah refraktor Zeiss,” demikian Pak Thé bercerita. Tidak hanya persoalan perawatan fasilitas Observatorium, Pak Thé pun juga mencari cara untuk membantu para pegawainya. “Untuk membantu para pegawai, tanah milik Observatorium dipinjamkan untuk dibagi-bagi kepada mereka. Dengan demikian mereka dapat bercocok tanam untuk keperluan sendiri atau untuk dijual.” Pak Thé juga secara pribadi meminjamkan uang kepada para pegawainya yang membutuhkan. “Saya bagaikan bankir bagi para pegawai,” canda Pak Thé. “Saya tulis di sebuah papan, berapa jumlah uang yang dipinjam setiap pegawai. Pada hari gajian, mereka bertanya berapa gaji mereka harus dipotong untuk membayar hutang,” lanjut Pak Thé. “Pada akhirnya saya berkata, `sudah tidak apa-apa, uang itu tidak perlu dikembalikan’,” lanjut beliau.
Ipar Pak Thé yang memiliki apotek di Bandung juga turut membantu dengan memberikan obat cuma-cuma kepada para pegawai dan keluarga mereka. “Penyakit yang paling umum diderita adalah diare dan radang mata,” cerita Pak Thé. “Untuk penguatan rohani, setiap Jumat datang seorang kyai dari masjid di Lembang untuk memberikan ceramah,” lanjut beliau. “Gaji saya sendiri tidak cukup untuk menghidupi keluarga saya. Untungnya selama menjadi mahasiswa PhD di Amerika Serikat, saya sempat menabung. Uang ini disimpankan oleh promotor saya, Prof. Blanco.”
Pada tahun 1966, Pak Thé diangkat menjadi Dekan Fakultas MIPA ITB. Proses ini berlangsung sesederhana pengangkatan beliau menjadi Direktur Observatorium Bosscha. “Pada suatu hari Prof. Moedomo dari bagian Matematika bertanya kepada saya apakah saya bersedia menjadi Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Saya hanya menjawab ‘Ya.’ Demikianlah saya di samping menjadi Direktur Observatorium Bosscha juga menjadi Dekan Fakultas.”
Dua tahun kemudian, Pak Thé memutuskan untuk meninggalkan Observatorium Bosscha dan pindah ke Universitas Amsterdam. “Meskipun saya memegang dua jabatan penting di Indonesia, kesempatan saya untuk mengembangkan karir ilmiah saya sangat kecil,” jawab beliau ketika kami bertanya alasan kepindahan beliau. Pak Thé menjelaskan, “meskipun Observatorium Bosscha mengendalikan dua buah teleskop besar, namun potensi pengamatannya sangat terbatas. Di luar negeri, orang misalnya dapat mengamat dengan fasilitas dari European Southern Observatory [ESO] atau dengan satelit. Jika menjadi astronom di Indonesia, orang kehilangan kesempatan ini.”
Keterbatasan ini tentunya bukan karena kapabilitas manusia Indonesia. “Kemungkinan finansialnya tidak ada,” demikian komentar Pak Thé. Beliau membuktikan bahwa kesempatan yang tersedia di Eropa dimanfaatkan dengan sebaik-baik kemampuan intelektual beliau. “Dengan bekerja sama dengan astronom di dalam maupun di luar Belanda, di Amsterdam saya mampu menerbitkan 200 makalah ilmiah.”
Kami lalu memeriksa daftar publikasi Pak Thé melalui mesin pencari makalah ilmiah yang disediakan NASA, dan menemukan 230 publikasi yang ditulis Pak Thé baik sendiri maupun dengan rekan-rekan beliau, pasca kepindahan beliau ke Amsterdam. Sekitar 130 makalah diterbitkan di jurnal yang melalui proses penilaian sejawat (peer review). Dengan karir sepanjang kira-kira 30 tahun di Amsterdam, tentu saja ini kira-kira empat kali lebih produktif daripada 5 makalah ilmiah serupa yang beliau publikasikan semasa bekerja di Lembang. Tidak hanya itu, Pak Thé juga aktif mengorganisir konferensi ilmiah yang berwatak internasional.
Apakah produktivitas Pak Thé dalam berkontribusi pada ilmu pengetahuan dapat dicapai di Indonesia? “Bila saya tetap di Indonesia, hal ini tidak akan mungkin saya capai,” jawab beliau.
Jabatan Pak Thé sebagai Direktur Observatorium Bosscha diteruskan oleh adik kelas di ITB dan juga mahasiswa beliau sesudah kepulangan beliau dari Amerika Serikat, Prof. Dr. Bambang Hidayat. Mengenai pengangkatan Pak Bambang sebagai Direktur, beliau berkomentar, “Pada waktu itu hanya dia satu-satunya kandidat yang ada. Saya mengusulkan kepada ITB dan mereka setuju. Dengan demikian tidak ada prosedur seleksi.”
Pak Thé pensiun dari jabatan guru besar astronomi di Universitas Amsterdam pada tahun 1993. Orasi purna tugas beliau ditutup dengan pernyataan bahwa beliau akan terus meneliti. Makalah ilmiah terakhir beliau diterbitkan pada tahun 2001, delapan tahun setelah Pak Thé pensiun. Atas dedikasi Pak Thé kepada ilmu pengetahuan, pada tahun 1993 Kerajaan Belanda menganugerahi kelar ksatria, yaitu Officier dalam Orde ksatria Oranje-Nassau (Orde van Oranje-Nassau). Sebuah asteroid juga diberi nama 5408 Thé (1232 T-1)sebagai penghormatan bagi Pak Thé.
Beliau kini menikmati pensiun di rumahnya di daerah Slotervaart di daerah pinggir Barat kota Amsterdam. Istri beliau, Ibu Fanny, meninggal pada tahun 1985. “Keluarga saya di Belanda tidak banyak. Anak laki-laki saya menjadi dokter gigi di Hengelo, anak perempuan saya bekerja di Disneyland Paris,” cerita Pak Thé mengenai keluarganya. “Pada tahun 1992 saya menikah dengan Helga Neuser,” lanjut beliau. Pak Thé mengisi masa-masa pensiun dengan berdansa, fotografi digital, dan kini menulis puisi.
Sebelum kami mengakhiri wawancara, kami ingin tahu apakah Pak Thé punya pesan tertentu kepada astronom-astronom di Indonesia. “Kepada astronom-astronom Indonesia saya berpesan agar menjaga dan mengembangkan astronomi di Indonesia,” demikian jawab beliau. Beliau juga berharap agar astronom Indonesia melakukan lebih banyak penelitian. “Kalau sudah menjadi Doktor dan menjadi dosen universitas, tugas kita tidak hanya sebatas memberikan kuliah tetapi juga membimbing mahasiswa sampai jadi Doktor,” demikian Pak Thé berpesan.
Pak Thé juga memberikan kami berbagai usulan untuk keberlangsungan penelitian di Observatorium Bosscha. Bagaimana mempertahankan keberlangsungan penelitian bintang ganda yang selalu menjadi ciri khas Observatorium Bosscha, tentang peremajaan Teleskop Schmidt, tentang pembangunan teleskop reflektor baru sebagai pengganti teleskop lama, dan persoalan pendanaan penerbitan artikel di jurnal ilmiah. Sungguh luar biasa bahwa dalam usia 84 tahun, Pak Thé masih memiliki berbagai ide untuk Observatorium Bosscha, yang sudah beliau tinggalkan 44 tahun lalu.

Kita mungkin tergoda untuk menyematkan “label” atau  “identitas” tertentu pada Pak Thé. Pak Thé adalah orang Tionghoa, Pak Thé adalah orang Jawa, Pak Thé adalah orang Indonesia, atau Pak Thé adalah orang Belanda. Namun beliau sendiri tidak merasa bahwa pertanyaan mengenai “label” atau “identitas” adalah sebuah hal penting, seraya berpesan bahwa  “lebih penting untuk melihat apa yang telah saya lakukan dalam hidup saya.”
Sumbangan Pak Thé kepada astronomi Indonesia tidaklah sedikit. Usaha beliau untuk mempertahankan Observatorium Bosscha di masa-masa tersulitnya dan juga pengabdian beliau kepada ilmu pengetahuan semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita semua. Tidak hanya itu, kerja keras Pak Thé semasa belajar di luar negeri dan kemampuan beliau menyelesaikan penelitian PhD hanya dalam waktu satu tahun telah membukakan jalan bagi yang lain untuk dapat belajar di Amerika Serikat. Dalam sebuah wawancara, Prof. Dr. Bambang Hidayat berkata bahwa Pak Thé “telah membukakan jalan saya [ke Cleveland], karena pekerjaannya, kerja baiknya di sana.” Meskipun Pak Thé meninggalkan Indonesia, Pak Bambang mengatakan bahwa Pak Thé “membantu meletakkan fondasi astronomi Indonesia.”
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Home
Reload page