Pada hari Sabtu, 5 Oktober 2013 pukul 07:35:43 WIB, terjadi fase konjungsi yang akan menandai berakhirnya satu siklus lunasi. Pada saat tersebut Bulan akan berada di bujur ekliptika yang sama dengan Matahari. Dikarenakan orbit Bulan tidak tepat berimpit dengan orbit Bumi, maka setiap kali terjadi konjungsi tidak selalu bertepatan dengan peristiwa gerhana Matahari. Momen konjungsi ini akan mengakhiri bulan yang sedang berjalan (Dzulkaidah) untuk menuju ke bulan yang baru (Dzulhijjah).
Sejumlah informasi fisis Bulan yang dihitung pada saat Matahari terbenam di ketiga lokasi, yaitu Lhok Nga Nanggroe Aceh Darussalam (5 meter dpl), Kampus UPI Bandung (968 meter dpl), dan Merauke Papua (0 meter dpl) ditunjukkan dalam tabel berikut.
Menilik parameter ketinggian Bulan, jarak sudut/elongasi, dan umur Bulan dari ketiga lokasi, nilai-nilai parameter tersebut cukup dekat dan bahkan sudah melampaui nilai-nilai minimal yang digunakan oleh Kementerian Agama RI sebagai kriteria visibilitas/kenampakan hilal, yaitu ketinggian Bulan minimal 2 derajat dan jarak sudut minimal 3 derajat atau umur Bulan minimal 8 jam. Bila demikian halnya, akankah sidang istbat di bawah pimpinan menteri agama yang akan digelar pada petang hari 5 Oktober 2013 tersebut menetapkan 1 Dzulhijjah 1434 H jatuh pada Sabtu 5 Oktober 2013 pada saat magrib/Matahari terbenam? Bila demikian halnya, maka 10 Dzulhijjah 1434 H yang merupakan hari raya Kurban atau haji akan jatuh pada Senin 14 Oktober 2013 saat magrib, sehingga pelaksanaan salat Idul Adha akan berlangsung pada Selasa 15 Oktober 2013 keesokan harinya.
Pertanyaan lain yang muncul adalah, mungkinkah hilal penentu awal Dzulhijjah dengan nilai-nilai seperti dalam tabel 1 dapat diamati pada petang hari 5 Oktober 2013 tersebut? Hal ini penting, mengingat upaya komunitas ilmiah yang menaruh perhatian dalam masalah ini dalam membangun kriteria visibilitas hilal yang valid secara keilmuan. Persoalan visibilitas tidak semata-mata masalah konfigurasi geometri Bulan – Matahari yang direpresentasikan oleh ketinggian dari ufuk dan elongasi, melainkan juga melibatkan iluminansi/terang yang tiba di permukaan objek (dalam hal ini hilal) dan kecerahan langit senja akibat hamburan sinar Matahari oleh partikel-partikel di atmosfer Bumi. Rasio antara keduanya mendefinisikan kontras yang turut berperan dalam menentukan mungkin – tidaknya hilal dapat diamati. Menggunakan model kecerahan langit senja dari Kastner (1976), telah dilakukan perhitungan untuk memperoleh kurva visibilitas hilal penentu awal Dzulhijjah 1434 H dengan modus pengamatan mata telanjang dan pengamatan menggunakan bantuan alat semisal binokuler. Dalam kurva yang dihasilkan, nilai visibilitas positif diinterpretasi sebagai kemungkinan hilal dapat diamati, sementara nilai visibilitas negatif sebagai ketidakmungkinan untuk mengamati hilal. Kurva visibilitas yang diperoleh untuk lokasi pengamat di kampus UPI Bandung ditunjukkan dalam gambar 1 berikut.
Gambar 1 dibangun dengan mengasumsikan kondisi atmosfer setempat yang bersih, artinya kandungan aerosol cukup minim yang menghasilkan kondisi atmosfer yang transparan. Menurut gambar 1, pengamatan dengan modus mata telanjang (garis merah) tidak akan dapat mengesani sosok hilal karena kontras yang rendah sehingga memberikan nilai fungsi visibilitas yang negatif. Untuk mengatasi kendala rendahnya kontras ini, dapat digunakan alat bantu optik (garis hijau). Disimulasikan penggunaan binokuler yang menghasilkan perbesaran sudut 10x, terbukti mampu meningkatkan kontras sehingga hilal berkemungkinan untuk dapat diamati sejak saat Matahari terbenam hingga 10 menit setelahnya.
Sosok hilal yang akan menjadi penentu awal Dzulhijjah disimulasikan dalam gambar 2. Hilal tersebut memiliki fraksi iluminasi (bagian Bulan yang bercahaya relatif terhadap Bulan purnama) kurang dari 1%, yaitu hanya 0,2 %, sehingga wajar bila pengamatan yang hanya mengandalkan mata telanjang akan gagal dalam mengesaninya. Secara teori, hanya sabit Bulan dengan fraksi iluminasi sama dengan atau lebih besar dari 1% yang dapat dikesani dengan mata telanjang.
Dari lokasi pengamat di Bandung, Bulan masih akan berada di atas ufuk setelah Matahari terbenam selama 15 menit. Bahwa jendela waktu yang tersedia hanya selama 10 menit (dalam gambar 1 garis hijau memotong sumbu X di menit ke-10), hal ini dapat dijelaskan mengingat posisi Bulan yang juga semakin rendah sehingga serapan cahaya hilal oleh atmosfer pun semakin kuat yang membuat kontras kembali rendah. Untuk dapat membuktikan prediksi model Kastner di atas, pengamat harus memastikan dipenuhinya syarat perlu, yaitu kondisi atmosfer yang bersih, cuaca mendukung (tidak ada liputan awan di arah pandang hilal berada maupun turun hujan), dan pengamatan menggunakan alat bantu optik semisal binokuler. Selamat berburu hilal dan selamat Idul Adha 10 Dzulhijjah 1434 H!
Sumber:
http://langitselatan.com/2013/10/04/bilakah-umat-islam-indonesia-merayakan-idul-adha-tahun-ini/
Sumber:
http://langitselatan.com/2013/10/04/bilakah-umat-islam-indonesia-merayakan-idul-adha-tahun-ini/