Sabtu, 12 April 2014

Batu Bara Bersih? Apakah Ada?

Menurut para pemerhati lingkungan, batu bara bersih hanya mitos. Itu sudah jelas, Lihat saja West Virginia. Puncak-puncak Pe­gunungan  Appalachia di sana sudah dipangkas menjadi lembah untuk mencapai batu bara di bawahnya, sementara sungai mengalir jingga dengan air asam. Atau lihat pusat kota Beijing. Kini, udara di sana biasanya lebih pekat daripada ruang merokok di bandara. Pencemaran udara di Cina

Ini bukanlah masalah baru. Pada akhir abad ke-17, ketika batu bara dari Wales dan Northumberland menyulut api pertama revolusi industri di Britania, penulis Inggris John Evelyn sudah mengeluhkan “bau dan kegelapan” asap yang menyelimuti London. Tiga abad ke­mudian, pada bulan Desember 1952, asbut tebal yang penuh batu bara turun di London dan menetap selama akhir pekan yang panjang, memicu epidemi penyakit pernapasan yang menewaskan hingga 12.000 jiwa pada bulan-bulan selanjutnya. Kota-kota di Amerika juga me­nanggung trauma sendiri.

Pada suatu akhir pekan Oktober 1948, di kota kecil Donora di Pennsylvania, penonton di pertandingan football SMA menyadari bahwa mereka tidak bisa melihat pemain ataupun bola: Asbut dari pabrik peleburan seng berbahan bakar batu bara di dekat sana menggelapkan lapangan. Pada hari-hari berikutnya, 20 orang meninggal, dan 6.000 orang—hampir setengah kota itu—sakit.

Kalau menggunakan eufemisme para eko­nom, batu bara itu penuh “eksternalitas”—biaya berat yang ditanggung masyarakat. Batu bara adalah sumber energi kita yang paling kotor dan mematikan. Namun, berdasarkan berbagai perhitungan, batu bara juga paling murah, dan kita bergantung padanya. Jadi, per­tanyaan penting sekarang ini bukan dapat­kah batu bara menjadi “bersih”. Itu tak mungkin. Pertanyaannya, dapatkah batu bara jadi cukup bersih—tak hanya untuk mencegah bencana lokal, tetapi juga untuk mengatasi perubahan radikal dalam iklim global.


Pada Juni lalu, pada hari yang panas dan gerah di Washington, D.C., Presiden Barack Obama menyampaikan pidato tentang iklim yang selama ini ditakuti industri daya listrik dan batu bara Amerika—dan yang diharapkan pemerhati lingkungan—sejak pelantikan per­tamanya, pada 2009. Berbicara dengan ber­kemeja lengan pendek dan sesekali menyeka kening, Obama mengumumkan bahwa sebelum Juni 2014, Environmental Protection Agency (EPA) akan menyusun peraturan baru yang akan “mengakhiri pembuangan pencemaran karbon tak terbatas dari pembangkit listrik kita.” 

Peraturan itu akan dikeluarkan di bawah Clean Air Act, undang-undang yang sebagian terilhami oleh bencana di Donora. Undang-undang itu sudah digunakan untuk secara drastis mengurangi emisi sulfur dioksida, oksida nitrogen, dan partikel jelaga dari pembangkit listrik Amerika. Tetapi, karbon dioksida, pe­nyebab utama pemanasan global, merupakan masalah pada skala yang berbeda sama sekali.

Pada 2012, dunia mencetak rekor emisi se­besar 34,5 miliar ton karbon dioksida dari bahan bakar fosil. Batu bara menjadi kontributor ter­besarnya. Akhir-akhir ini, gas alam murah me­ngurangi permintaan batu bara di AS, te­tapi di semua tempat lain, terutama di Cina, per­mintaan tetap melonjak. Selama dua dasawarsa ke depan, beberapa ratus juta orang di seluruh dunia akan mendapat listrik pertama kalinya, dan jika pola saat ini berlanjut, sebagian besar akan menggunakan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Desakan paling agresif yang me­nuntut sumber energi alternatif dan peng­hematan energi sekalipun tidak akan mampu menggantikan batu bara—setidaknya, tidak dalam waktu dekat.

Secepat apa Arktika meleleh, setinggi apa laut naik, sepanas apa gelombang panas—semua unsur masa depan kita yang tak pasti ini tergantung pada tindakan dunia tentang batu bara, khususnya AS dan Cina. Apakah kita akan terus membakarnya dan membuang karbon ke udara tanpa diredam? Atau akankah kita menemukan cara untuk menangkap karbon, seperti sulfur dan nitrogen dari bahan bakar fosil, dan menyimpannya di bawah tanah?

“Kita perlu sekuat tenaga menuntut ener­gi terbarukan dan efisiensi energi, dan pe­ngurangan emisi karbon dari batu bara,” kata peneliti Stanford University, Sally Benson, yang berspesialisasi di bidang penyimpanan karbon.

Sumber:
http://nationalgeographic.co.id/feature/2014/04/batu-bara-bersih-mungkinkah
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Home
Reload page